Miskin bukan lah dosa apalagi untuk dicerca. Setidaknya itu prinsip yang
dapat dipetik dari pengalaman Mulk. Keluarga Mulk percaya bahwa agama
mendekatkan rezeki dan mampu mengangkat derajat keluarganya dengan ridho
Ilahi. Maka dengan uang saku Rp 20 ribu, ayah Mulk meninggalkan Mulk di
pesantren Mojosari Nganjuk.
Di pesantren Mulk menempuh masa-masa sulit. "Mulai minimnya uang saku,
kerinduan pada orang tua hingga penyakit kudisan yang bersemayam selama
dua tahun," ungkap Mulk dalam buku Mutiara Terpendam terbitan pendidikan
Islam Menag, Senin (23/3).
Akibat penyakit ini, Mulk dijauhi teman-temannya karena merasa jijik.
Kendati demikian, cobaan itu malah makin memoles kegemilangan Mulk. "Ia
hafal semua materi pelajaran walaupun tanpa menulis," sambung buku
tersebut.
Cobaan yang dia alami sempat membuatnya ingin keluar dari pesantren.
Namun niat itu dia urungkan saat cobaan lebih besar datang ke keluarga
kecilnya di kampung. Lapak kecil di pasar desa milik ayahnya
gulung tikar, lahan pertanian pun hancur karena cuaca buruk. Sementara
kebutuhan untuk masuk madrasah tsanawiyah dia perlukan.
Akhirnya ayah Mulk ke kota menjadi kuli bangunan untuk sekolah. Ibunya
menggantikan peran ayah mencakul, menyiangi tanaman sendirian.
"Itu
lah ibuku, seorang ibu yang hebat, sabar dan tak mengenal putus asa.
Semoga Allah selalu menjaganya," ungkap Mulk dalam buku itu.
Beruntung Mulk mendapat beasiswa baik di MTS maupun di pesantren.
Tekadnya semakin membulat karena perjuangan keluarganya yang tak mudah
untuk pendidikan Mulk.
Dengan meminjam uang pendaftaran beasiswa
Kemenag sebesar Rp 150 ribu, harapan Mulk tak sia-sia. Doa yang tak
kunjung putus dan lelah tak berkesudahan dari orangtuanya terbayar. Mulk
mendapat beasiswa tersebut, Mulk menjadi orang satu-satunya yang masuk
perguruan negeri di kampungnya dan kini telah duduk di universitas
ternama di Surabaya.
#Sumber: Merdeka.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment