Khutbah I
اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ
الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ
الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ
الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ
يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ،
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ
وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن
قَالَ اللهُ
تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ
مُسْلِمُوْنَ
Ikhwani muslimin
rahimakumullah!
          Pertama-tama
dan yang utama marilah kita memanjatkan puji syukur kita ke hadirat Allah SWT
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kita semua
bisa berkumpul di tempat yang mulia ini dalam rangka melaksanakan salah satu kewajiban
kita sebagai muslim yaitu melaksanakan shalat jum’at secara berjama’ah.
          Selanjutnya shalawat dan
salam marilah senantiasa kita hadiahkan kepada junjungan dan kekasih kita,
NNabiullah Muhammad SAW yang telah berjuang membebaskan ummat manusia dari
belenggu kejahiliahan yang tak beradab sehingga bisa menjadi manusia-manusia yang
berperadaban tinggi nan agung.
Ikhwani muslimin rahimakumullah!
4 hari yang lalu kita telah bersama-sama
merayakan salah satu hari besar islam yaitu Hari Raya Idul Adha. Perayaan Idul Adha selalu menjadi momen spesial bagi umat Islam sedunia.
Setidaknya ada dua hal pokok yang selalu menonjol dalam momen tersebut;
pertama, ibadah haji. Jutaan Mulim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di
Tanah Suci untuk memenuhi rukun Islam yang kelima. Kedua, pelaksanaan kurban
atau penyembelihan sejumlah binatang ternak. Kesempatan ini sebagai bentuk
solidaritas pelaksana kurban kepada kaum fakir, miskin, kerabat, dan tetangga
sekitar dengan berbagi daging sesembelihan. 
Kedua pelaksanaan ibadah tersebut tak bisa dilepaskan dari sejarah dan
ajaran Nabi Ibrahim dan keluarganya. Meski tiap tahun Idul Adha dirayakan,
sepertinya hanya sebagian kecil saja dari kita meneladani Nabi Ibrahim dalam
kehidupan sehari-hari. Kita seperti selalu baru ingat keteladanan tersebut
menjelang Idul Adha. Sehingga ajarannya pun dilaksanakan hanya tiap tahun.
Padahal, esensi ajaran beliau, terutama soal berkurban, memiliki makna yang
luas dan bisa diterapkan dalam jangka waktu tak terbatas.
Jamaah shalat Jum’at hadâkumullâh,
Seperti sering diceramahkan di panggung-panggung dakwah dan mimbar-mimbar  khutbah, peristiwa hari raya kurban merujuk
pada kisah diperintahkannya Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra semata
wayangnya, Ismail. Bisa dibayangkan seandainya Nabi Ibrahim seperti ayah-ayah
kebanyakan di dunia ini, betapa pedih dan teririsnya hati beliau saat hendak
menggorok sang buah hati yang sekian lama ia damba-dambakan.
Bagi Nabi Ibrahim dan  Nabi Ismail tentu
adalah anugerah paling mahal. Lebih dari sekadar menghapus dugaan kemandulan
istri beliau selama ini, melainkan sang putra adalah pribadi yang cerdas, sabar
juga bijaksana. Ada masa depan gemilang dari dalam diri Ismail ‘alaihis
salâm. Tapi, Nabi Ibrahim bukan seperti ayah-ayah kebanyakan. Kecintaannya
kepada Allah subhânahu wata‘âlâ yang memuncak mengalahkan segalanya. Melalui musyawarah
dan persetujuan (tanpa paksaan) putranya itu, Nabi Ibrahim melaksanakan
perintah penyembelihan itu, meskipun pada akhirnya ritual itu batal ditunaikan
atas kehendak Allah.
Larangan Allah terhadap penyembelihan darah manusia (Ismail) oleh Nabi Ibrahim
membuktikan bahwa perintah yang didapat dari mimpin tersebut sebatas ujian dan
bahwa ritual pengorbanan nyawa manusia—sebagaimana tradisi biadab sejumlah kaum
terhadulu—adalah hal yang dikecam keras. Nabi Ibrahim lulus dari ujian super
berat, dan objek penyembelihan pun digantikan dengan domba yang besar.
Jamaah shalat Jum’at hadâkumullâh,
Ada pesan menarik dalam kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya ini. Cerita
tersebut menunjukkan bahwa tak ada harta paling sejati dan paling mahal
disbanding ketundukan secara total kepada Allah subhâahu wata‘âlâ. Nabi
Ibrahim mampu meruntuhkan seluruh cara pandang hidup yang mengatakan kekayaan
duniawi, termasuk anak, adalah hal yang paling utama. Dalam Al-Qur’an sendiri
dikatakan:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ
عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi
Allah-lah pahala yang besar.” (QS at-Taghabun: 15)
          Kurban berasal dari bahasa Arab qurbân yang artinya “pendekatan
diri”. Maksudnya adalah mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ajaran formal
Islam, kurban dilaksanakan tiap tahun dengan menyembelih sejumlah hewan ternak
tertentu. Oleh karenanya, kurban berhubungan erat dengan korban (pakai ‘o')
dalam bahasa Indonesia. Sebab, seorang pelaksana kurban tengah mengorbankan
sebagian hartanya berupa hewan ternak untuk dibagikan kepada sesama.
Nabi Ibrahim yang menjadi teladan dalam ritual tahunan tersebut mengajarkan
bahwa seorang hamba janganlah tertipu daya dengan kekayaan yang sifatnya sesaat
saja. Ada kehidupan yang lebih hakiki dan perlu diperjuangkan ketimbang
kehidupan dunia yang fana. Karena itu, mengorbankan sebagian harta lillâhi
ta‘âlâ tidak akan ada ruginya. Sikap semacam inilah yang ditunjukkan Nabi
Ibrahim, yang juga diikuti putranya, Ismail, yang begitu patuh dan saleh.
Dengan bahasa lain, pengorbanan adalah bentuk cara pandang manusia yang jauh ke
depan menuju kehidupan bahagia di akhirat kelak secara abadi.
Allah SWT berfirman dalam QS. QS Al-An'am: 32
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ  أَفَلَا تَعْقِلُونَ
          “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah bermain-main dan senda gurau
belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An'am: 32)
          Kita yang sering mengaku meneladani Nabi Ibrahim
dengan berkurban, sudahkah sebanding dengan pengorbanan beliau? Sebandingkah
dengan semangat pengorbanan Ismail yang masih bocah? Sebandingkah dengan
semangat pengorbanan istri beliau, Siti Hajar?
Jamaah shalat Jum’at hadâkumullâh,
          Untuk membeli hewan kurban saja, kita kadang masih
bersiasat untuk mendapatkan harga paling murah, jika perlu membelinya jauh pada
bulan-bulan sebelumnya. Kita masih memilih uang paling kecil ketika kotak amal
lewat di hadapan kita. Kita juga, misalnya, sering tak sudi berkorban sedikit
tempat saat menaiki kendaaan umum, berkorban sedikit tenaga untuk membantu
mereka yang membutuhkan. Di manakah semangat kurban yang mewujud dalam
kehidupan sehari-hari?
          Kadang pula, karena kita mendapat sedikit pengetahuan
agama, kita tak mau berkorban mendengarkan pendapat kelompok lain. Karena
dianugerahi sedikit kedudukan, kita ogah mendengarkan unek-unek dan aspirasi
orang lain. 
          Berkurban adalah tentang melawan kecenderungan
materialisme untuk senantiasa mendekatkan diri dan bertakwa kepada Allah, serta
meraih kebahagiaan yang lebih hakiki. Semoga al-faqir dan jamaah
sekalian dapat menghayati dan menerjemahkan pesan kurban dalam kehidupan
sehari-hari secara maksimal. Wallahu a’lam bish-shawâb.
باَرَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى
الْقُراَنِ الْكَرِ يْمِ. وَنَفَعْنِى وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلااَيَاتِ وَالدِّكْرِ
الحَكِيمِ. اَسْتَغْفِرُاللهَ لِى وَلَكُمْ 
اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ
وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
 وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ
اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ
سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ.
 اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ
فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ
بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ
تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
 اللهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ
مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ
اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان
وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي
التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ
بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ
 اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ.
 اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ
وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ
اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.
 رَبَّنَا آتِناَ فِى
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
 رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ
لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
 عِبَادَاللهِ ! إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ
وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ 
 اللهِ أَكْبَرْ